Jumat, 20 Mei 2011

Tak abadi

Pindah lagi...
Begini kalau kontraktor (he..he..maksudy ngontrak). Sebenarnya sudah tidak mau pindah, karena tidak lama lagi kami juga akan meninggalkan kota ini kembali ke kampung halaman, 3 atau 4 bulan lagi kalau "kakak" bisa menyelesaikan studi spesialisnya tepat waktu (semoga Ya Allah), tapi apa boleh buat yang punya kontrakan mau renovasi rumahnya, dan yang lebih merepotkan lagi informasinya dadakan jadi deh semuanya serba dadakan. Cari rumah dadakan (Alhamdulillah dapat rumah, dekat dari rumah kontrakan yang lama), packing-packing dadakan, sosialisasi ke anak-anak juga dadakan (Alhamdulillah tanpa perlawanan yang berarti mereka menerima).

Akhirnya selesai juga...Alhamdulillah, badan pegal-pegal, sakit semua.
Untungnya barang tidak begitu banyak, yah seperlunya saja. Hanya ada barang-barang yang penting untuk urusan rumah tangga selama diperantauan  dan ini lebih memudahkan pekerjaan. Sisa buku yang berkardus-kardus itu yang belum dirapiin. Rehat dulu...

Berat rasanya pindah, rumah itu penuh dengan kenangan. Kenangan suka dan dukaku sebagai seorang istri dan ibu yang baru belajar...rumah itu tempat kami belajar mendewasakan diri sebagai sebuah keluarga. Hampir 3 tahun kami tinggal dirumah itu (sama dengan umur anakku yang bungsu), bukan waktu yang singkat.

Malam pertama dirumah baru...
"Ummi...inikan bukan rumah kita? rumah kita warna kuning bukan warna ijo!" kata kakak dengan raut muka yang sedih :( kepadaku dan kujawab "Iya sayang...untuk sementara kita tinggal disini, kan tidak lama lagi kita pulang dekat rumah nene dato". "Hore...ke nene dato!" serunya. Aku menunggu pertanyaan selanjutnya sambil mempersiapkan jawaban atas pertanyaan yang kukira akan dilontarkannya, tapi ternyata dia tak bertanya lagi, tak seperti biasanya. Mungkin karena kecapaian bolak-balik mengawasi abahnya mengangkut barang, kakak tertidur dengan raut muka masih menyimpan kesedihan :(.

Keesokan harinya...
Jemur pakaian ditemani anak-anak. Kali ini giliran dede yang nyeletuk..."ummi...mahku ncur" sambil menunjuk rumah kontrakan kami yang hancur, sama seperti kakaknya raut wajahnya tampak sedih. Walaupun itu hanya bekas rumah kontrakkan kami, tapi dia menganggap  rumah itu miliknya sendiri, wajar karena kami menempati rumah itu sejak dia berusia dua bulan, dia tumbuh didalam rumah itu. kucoba berempati untuk menghiburnya dan berkata "rumahnya hancur ya de! g' pa-pa sayang, rumahnya diperbaiki biar lebih bagus, kan dede udah punya rumah lagi". Kunanti komentarnya...tak ada komentar, tak seperti biasanya. Mereka berlari mendekati rumah itu dan melihat para tukang-tukang bekerja...mereka bermain dan tertawa-tawa, lega rasanya. (itulah anak-anak begitu cepat melupakan segalanya, pun untuk rasa kehilangan....ingin rasanya kembali menjadi seperti mereka)

Seminggu berlalu ...
Mereka sudah beradaptasi di rumah ini, lebih cepat dariku..ku belum terbiasa, yah untuk hal-hal yang tidak sesuai keinginanku selalu lebih lama prosesnya. Hampir 3 tahun dirumah yang lama sangat menyenangkan tapi juga sangat membosankan walaupun selalu menjadi desainer interior rubah sana rubah sini, atur sana atur sini untuk membuat rumah itu nyaman tetap aja rasa bosan itu muncul, ini positifnya rumah baru suasana baru...membuat hidup lebih bersemangat... Ayo semangat!  tinggal 3-4 bulan lagi (Insya Allah).


Banyak hal yang kupelajari dari episode ini, bahwa memang tak ada yang abadi, sesungguhnya tak ada yang kumiliki. Rumah, kendaraan, anak, suami bahkan diri ini bukan milikku, semuanya hanyalah hak pakai,  hanya titipan bukan hak milik. Semuanya bisa hilang dengan dadakan, walaupun sudah prepare hanya Allah penentu segalanya dan banyak hikmah dibaliknya. Sesuatu yang dadakan tak selamanya buruk, jika kita menerima yang terjadi dengan ikhlas walaupun berangkat dari yang berat akan banyak kemudahan, banyak harapan baru di sana...Anak-anak contoh keikhlasan nyata, begitu mudah menerima kenyataan yang ada meskipun itu rasa kehilangan, itu yang membuat mereka begitu cepat recover. Jangan bilang karena perasaan mereka tak peka, belum mengerti...justru karena  mereka sangat peka, begitu sensitif, sangat mengerti hanya dengan melihat mata kita dia akan mampu menyelami apa yang ada di hati ini. Sedangkan kita, mulai pudar kepekaan itu, egoisme yang mendominasi.

Karena tak ada yang abadi, "lucu" rasanya jika kita bersedih begitu dalam untuk sesuatu yang tidak kita miliki dan kesabaran adalah obat yang mujarab untuknya. Karena semuanya hanyalah hak pakai, bijak rasanya jika kita menggunakannya sesuai fungsinya masing-masing tanpa penyelewengan dan hanya rasa syukur yang mampu menggenapkannya. Si Empunya juga pasti akan meminta pertanggungjawaban akan apa yang selama ini kita pakai. Ingat!!!